Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu saat menghadiri Peringatan Kwan She Im Phu Sa mencapai Parinibbana atau Meninggalkan Duniawi di Klenteng Tay Kak Sie Kota Semarang, Minggu (12/11).
Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu saat menghadiri Peringatan Kwan She Im Phu Sa mencapai Parinibbana atau Meninggalkan Duniawi di Klenteng Tay Kak Sie Kota Semarang, Minggu (12/11).

Jangan Diragukan, Wali Kota Semarang sebut Perbedaan Etnis Menjadi Simbol Kerukunan

SEMARANG (Pojokjateng.com) – Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu menyebut harmonisasi kerukunan antar etnis dan umat beragama di Ibu Kota Jawa Tengah telah terbangun sejak dulu. Masyarakatnya sudah lama hidup berdampingan dan rukun, meski dari latar belakang dan suku yang berbeda.

Hal itu diungkapkan Mbak Ita, sapaan akrabnya dalam Peringatan Kwan She Im Phu Sa mencapai Parinibbana atau Meninggalkan Duniawi di Klenteng Tay Kak Sie Kota Semarang, Minggu (12/11).

Dalam persamuan agung 1.108 rupang dari berbagai kelenteng yang ada di Pulau Jawa ini, dihadiri oleh umat Buddha dari beberapa daerah. Persamuan itu akan memecahkan Rekor Muri.

“Jangan diragukan, Kota Semarang sudah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia-red) sejak lama,” kata Mbak Ita, menjelaskan kepada umat Buddha luar kota yang menghadiri Persamuan Agung Rupang Kwan She Im Phu Sa.

Mbak Ita menjelaskan, kerukunan tersebut dapat ditengok dengan berdirinya Kelenteng Tay Kak Sie, dan sejumlah permukiman etnis di Semarang lama. Selain Kota Lama dan Pecinan, juga terdapat Kampung Kauman, dan Kampung Melayu. Masyarakatnya pun hidup rukun.

Letaknya yang berdekatan tersebut, menurutnya, menjadi bukti bahwa Kota Semarang sudah sejak dulu berbhineka tunggal ika. Hal itu pula disimbolkan dengan perwujudan Warak Ngendog yang merupakan perpaduan naga, buraq, dan kambing.

“Kota Semarang sejak dulu sudah akur, dan menjadi satu kesatuan. Kami memiliki Warak Ngendog, binatang yang jadi simbol plurarisme. Kono kepalanya liong atau naga unsur Tionghoa, badannya buraq unsur Arab, kakinya domba unsur Jawa atau Indonesia,” ujarnya.

Bertempat di kelenteng yang terletak di kawasan Jalan Gang Lombok ini, Mbak Ita menyatakan, memiliki magnet budaya dan daya tarik wisata yang luar biasa. Tiap tahunnya terdapat Kirab Laksamana Cheng Ho dan Dewa Obat.

“Di tempat ini pula, Gus Dur dikukuhkan sebagai bapak Tionghoa pada 10 Maret 2004. Bahkan saat itu Gus Dur menyatakan diri sebagai keluarga etnik Tionghoa dari marga Tan,” katanya.

Lebih lanjut, Politikus PDI Perjuangan ini menyampaikan, fondasi keberagaman antar etnis dan penganut agama di Kota Semarang harus ditunjukkan untuk mempengaruhi Indonesia lebih baik dan makin maju.

“Kota Semarang akan selalu mensupport kegiatan seperti ini. Saat ini kita harus erat pegang tangan dan tunjukkan kita bisa damai di tengah tahun politik,” katanya.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *