Kampung Petemesan Sebagai Bekas Kabupaten Pertama Semarang Era Ki Ageng Pandanaran, Rukardi: Bukan Kaleng-Kaleng

SEMARANG (Pojokjateng.com) – Wakil Pimpinan Redaksi (Wapemred) Suara Merdeka Jawa Tengah, Rukardi, menceritakan sejarah singkat terkait Kampung Petemesan dalam acara ‘Iki Buntu: Fest I’ yang diadakan di Kampung Petemesan, Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Minggu, (15/7).

Dalam forum diskusi yang diadakan, Rukardi menjadi salah satu narasumber, bersama dengan dosen dari Fakultas Ilmu Politik dan Sosial (FISIP), Lintang Ratri Rahmiaji atau Lintang Ratri Sadono. Diskusi tersebut dipimpin oleh Najmi Azkiyah Afiyah sebagai moderator, membahas asal usul Kampung Petemesan dengan tema ‘Jalan Buntu’, sesuai dengan nama festivalnya.

Rukardi menyebut bahwa berdasarkan peta sejarah tertua mengenai Kota Semarang dari tahun 1692 yang diinterpretasikan oleh tokoh Islam Tionghoa Indonesia, Amen Budiman, Kampung Petemesan adalah kabupaten pertama di Semarang yang didirikan oleh Ki Ageng Pandanaran.

Baca Juga:  Memulai Perayaan Ulang Tahun ke-20, Kolektif Hysteria Hadirkan Mural "Tulang Lunak Bandeng Juwana" di Underpass Jatingaleh

“Jadi ini interpretasi menarik dari Pak Amen Budiman bahwa dulu daerah Bubakan, ya sekitar sini. Bukan di bunderan itu,” jelas Rukardi. Menurut Rukardi, Pak Amen menginterpretasikan daerah Bubakan di era Ki Ageng Pandanaran sebagai lokasi di sekitar Kampung Petemesan.

Rukardi menegaskan bahwa Kampung Petemesan bukanlah wilayah sembarangan karena menjadi bagian penting dalam sejarah Kota Semarang.

Selain itu, Rukardi juga menyebutkan bahwa letak geografis Kampung Petemesan yang terkenal dengan ‘gang buntu’-nya memiliki korelasi dengan pemberontakan warga Tionghoa pada tahun 1740 di Batavia oleh VOC. Hal serupa juga terjadi di beberapa kota di Jawa Tengah, termasuk Semarang, di mana pemberontakan dilakukan bersama dengan orang Jawa melawan VOC.

Pada tahun 1797, VOC memperlebar jalan antara Kota Lama dan jalan di Pecinan (Pekojan), sehingga makam-makam orang Tionghoa harus dipindah untuk pelebaran jalan tersebut. Bukti pemindahan makam ini terlihat dari adanya inskripsi yang dibangun di ujung Jalan Petolongan dengan tulisan dari mantra Buddha untuk mendoakan arwah yang makamnya dipindah.

Baca Juga:  Jaksa Agung ST Burhanuddin: Korps Adhyaksa Membutuhkan Kontribusi Terbaik dari Putra-Putri Bangsa

Pelebaran jalan tersebut menyebabkan pergeseran wilayah, membuat warga Tionghoa bisa tinggal di sekitar Pekojan dan mulai berdagang di sana. Hingga kini, banyak orang peranakan Tionghoa yang tinggal dan memiliki toko di sekitar Pekojan.

Mahasiswi Arsitektur Undip angkatan 2021, Najmi Azkiyah Afiyah yang juga moderator dalam diskusi tersebut, menyatakan bahwa ia terkesan dengan sejarah dan fakta yang dipaparkan, terutama karena dirinya berasal dari Kota Cimahi, Jawa Barat, dan belum terlalu tahu tentang tata letak dan sejarah daerah di Kota Semarang.

Najmi menambahkan bahwa pengetahuan tentang kota seperti yang dipaparkan oleh narasumber diskusi sangat penting dalam agenda festival pertama yang diinisiasi oleh Kolektif Hysteria melalui Platform PekaKota. Ia menyebut bahwa kurangnya literasi atau catatan mengenai Kampung Petemesan membuat acara ini tidak hanya mengedukasi warga setempat, tetapi juga memberikan pengetahuan baru bagi orang luar daerah.

Baca Juga:  Dukung Program Gaspol 12, Film "Tanah Tandus" Angkat Isu Putus Sekolah di Rembang

Kampung Petemesan adalah lokasi keempat dari 10 titik dalam Program Purwarupa, setelah sebelumnya diselenggarakan di Rembang, Tandhok Art Space, dan Wonolopo. Enam titik lain akan digelar di kampung atau lokasi lain di Kota Semarang, seperti Kampung Jawi, Tambakrejo, Bustaman, dan Ngijo.

Acara ini merupakan bagian dari rangkaian menuju ulang tahun ke-20 Kolektif Hysteria dan Event Strategis Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI melalui Program Dana Indonesiana.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *