Ketua MK Anwar Usman Siap Hadapi Konsekuensi Pemecatan
JAKARTA (Pojokjateng.com) – Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, dengan tegas menyatakan kesiapannya menghadapi konsekuensi yang mungkin timbul jika ia diberhentikan dengan tidak hormat oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Dalam wawancara yang berlangsung usai sidang dugaan pelanggaran etik di Gedung MK pada tanggal 3 November 2023, Anwar Usman menyampaikan keyakinan bahwa ia selalu bersedia menerima segala kemungkinan, termasuk pemecatan dengan tidak hormat.
Latar belakang dari sanksi yang diterapkan adalah sejumlah pelapor yang menuntut agar Anwar Usman diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua MK dengan tidak hormat. Hal ini merupakan reaksi terhadap dugaan pelanggaran etik yang terkait dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat calon presiden dan wakil presiden. Anwar Usman juga terlibat dalam putusan ini, yang memungkinkan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, untuk menjadi calon wakil presiden.
Terkait dengan banyaknya pelapor yang menginginkan pemecatan Anwar Usman dengan tidak hormat, Anwar Usman mencermati bahwa mereka memiliki hak untuk menyampaikan permintaan tersebut. Ia menekankan prinsip kebebasan berpendapat dan hak untuk menyuarakan pandangan serta tuntutan mereka.
“Siapa pun bisa meminta, itu adalah hak mereka.” ujar Anwar
Baca juga: MK Putuskan Syarat Capres dan Cawapres 40 Tahun Asalkan Berpengalaman Jadi Kepala Daerah
Sebelumnya, Jimly Asshiddiqie, yang juga merupakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, telah menjelaskan secara rinci tiga kemungkinan sanksi etik yang bisa diberikan kepada para hakim Mahkamah Konstitusi jika terbukti melanggar etika dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimal untuk calon presiden dan wakil presiden.
“Kalau di Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) itu kan jelas ada tiga macam (sanksi), teguran, peringatan, dan pemberhentian,” ujar Jimly
Jimly menjelaskan bahwa dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), terdapat tiga jenis sanksi, yaitu teguran, peringatan, dan pemberhentian. Dia memberikan penjelasan ini kepada wartawan setelah persidangan etik hari pertama di Gedung Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Oktober 2023. Pada hari itu, MKMK memeriksa empat pelapor dan tiga hakim konstitusi, termasuk Ketua MK Anwar Usman.
Jimly juga memberikan penjelasan rinci tentang beragam jenis pemberhentian yang dapat diterapkan untuk hakim atau ketua Mahkamah Konstitusi yang terbukti melanggar etik. Pemberhentian yang paling berat adalah pemberhentian dengan tidak hormat, namun ada juga opsi pemberhentian dengan hormat. Jimly juga menyebut bahwa terdapat pemberhentian dari jabatan ketua tanpa keanggotaan sebagai alternatif.
“Selain itu ada juga pemberhentian bukan sebagai anggota, tapi hanya diberhentikan sebagai ketua,” ujar Jimly
Baca juga: KPU Tetapkan Daftar Calon Tetap, 580 Kursi DPR Diperebutkan 9.917 Caleg
Selain pemberhentian, ada juga sanksi peringatan yang memiliki beberapa variasi, seperti peringatan biasa, peringatan ketat, dan peringatan sangat ketat. Jimly menjelaskan bahwa variasi ini tidak dijelaskan secara eksplisit dalam PMK, namun tetap dapat diterapkan sesuai kebutuhan dan situasi.
Sanksi paling ringan dalam konteks ini adalah teguran, yang dapat diberikan dalam bentuk lisan atau tertulis. Dengan demikian, opsi sanksi yang tersedia sesuai dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi adalah teguran, peringatan, dan pemberhentian. Semua hal ini menjadi bagian dari proses hukum yang mengikuti prinsip-prinsip etika yang berlaku di Mahkamah Konstitusi.